Kau Takkan Terganti

Hanif Adityo
7 min readMar 18, 2023

--

Ini bukan tentang seseorang. Tapi tentang… makanan!

Makanan alias kuliner jadi salah satu hal yang paling enak buat di-nostalgia-in, apalagi kalau makanan tersebut meninggalkan sebuah celah kecil di dalam hati. Bisa dari rasanya, momennya, atau bahkan kenangannya.

Kalau ditanya soal rasa, dengan mantap gue akan menjawab AYAM GORENG BERKAH yang dulu ada di Blok M dan sekarang pindah ke Melawai. Sejak zaman dahulu kala sampai terakhir gue ke sana sekitar dua bulan lalu, rasanya masih otentik dan nggak berubah sama sekali. Dagingnya empuk dan oily, bumbunya meresap, dan pastinya tidak alot. Dimakan saat masih panas. Walaupun dari segi harga agak nangis dikit kalau dibeli secara rutin, tapi faktor tersebut yang bikin restoran ini jadi terasa sangat spesial. Selain itu juga karena jarak dari tempat tinggal gue yang cukup jauh, sehingga kalau ke tempat ini harus mengeluarkan effort lebih.

Terlepas dari rasanya yang gaada obat alias enak banget. Minusnya cuma antre banget kalo lo datang di waktu yang tidak tepat. Bisa sampe waiting list demi menunggu seporsi ayam goreng kampung pake nasi uduk dan sambel merah. Dulu tempatnya masih di pinggir jalan dengan suasana pengamen setiap lima menit sekali, tapi sekarang udah nyaman banget.

Kalau soal momen, yang pertama terlintas di otak gue adalah Frozen Yogurt dari J.Co. Inget banget waktu pertama kali sampe di Semarang buat tes kesehatan dan nyari kosan, dengan cuaca siang hari di Kota Semarang yang bisa kalian bayangkan sendiri seperti apa, keliling kesana kesini buat lihat kosan naik motor, pake helm, ditambah jaket biar nggak gosong. Capeknya bukan soal fisik tapi karena cuaca terik bagaikan sinaran ultrafeng yang mulai dinaungi oleh greenday. Akhirnya hari itu belum nemu kosan yang cocok. Maka gue bersama bokap memutuskan mampir sejenak ke Java Mall buat neduh dan nyari sepatu pantofel untuk persiapan ospek.

Sebenernya pilihan tempat makan ada cukup banyak, tapi entah kenapa dari kejauhan gue liat standing banner Frozen Yogurt ditambah topping yang ada di display-nya seolah memanggil secara brutal. Untuk hitungan es krim, harganya cukup mahal ya (kalau dibandingkan McD dan KFC yang cuma goceng) tapi lagi-lagi karena momennya yang mendukung jadi berasa enak banget dan memang enak banget. Sampai sekarang kalau lihat Frozen Yogurt di J.Co pasti selalu inget sama momen hari pertama menginjakkan kaki di Kota Semarang. Good ol’ days.

Kalau soal kuliner yang kenangannya paling membekas, jawabannya adalah salah satu warung pecel ayam di Tembalang (semoga tempat ini masih ada). Karena saat itu kesibukan gue adalah jadi admin Instagram sebuah akun kuliner, maka setiap hari gue punya misi untuk menjelajahi tempat makan yang berbeda di Tembalang. Seluruh tempat gue sisir perlahan mulai dari Timoho, Gondang, Mulawarman, bahkan hingga Banyumanik. Sampai suatu hari gue menemukan tempat ini. Lokasinya ada di belakang Kantor Pos Banjarsari, pertama kali nyoba, gatau gimana ceritanya, gue merasa bahwa itu adalah ayam goreng + nasi uduk + sambel khas Lamongan terenak yang pernah gue makan (dengan harga yang sangat terjangkau, kalau gak salah 12 ribu untuk seporsi di tahun 2018).

Karena masing kebayang sama rasanya, maka keesokan harinya gue kembali datang ke sana di jam makan malam dan memesan menu yang sama. Namun kali ini coba dibungkus untuk makan di kosan. Rasanya masih tetap enak. Hal ini terus berulang sampai 7 hari berturut-turut gue makan di tempat yang sama namun dengan mencoba menu yang berbeda. Hari kelima dan keenam udah mulai bokek jadi belinya tempe goreng sama nasi uduk aja hahahaha. Hari ketujuh nyobain kepala ayam + kol goreng. Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa rasanya, terutama sambelnya, emang enak banget. Bahkan berkali-kali gue rekomendasiin tempat ini ke seluruh warga Tembalang dan belum pernah ada feedback yang mengecewakan. Semua sepakat dan satu suara mengakui tempat ini layak untuk dicoba.

Namun sesuai dengan konsep hukum Gossen I, maka nurani gue mulai tersadar. Kenapa ya setiap hari gue makan di tempat itu terus. Mungkin dari berpuluh warung pecel ayam Lamongan yang ada di Tembalang dan semuanya sudah gue coba, hanya tempat ini yang gue datangi terus menerus selama satu minggu full. Pada akhirnya gue sudah mencapai titik jenuh. Gue harus move on. Dan gue berhasil.

Sebenarnya masih banyak kuliner enak lainnya dan semuanya memiliki ceritanya masing-masing. Namun di balik fenomena ini, juga ada tempat makan yang membuat kecewa. Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia kuliner itu ‘kejam’ karena banyak faktor yang harus dikendalikan di balik dapur. Mulai dari bahan baku yang naik, inovasi rasa, hingga persaingan dari tempat makan lainnya. Biasanya pemilik bisnis akan dihadapkan pada dua pilihan sulit:

Menaikkan harga atau menurunkan kualitas

Terkadang selisih harga sedikit saja dapat membuat pelanggan berpaling ke tempat lain. Apalagi jika tempat makan tersebut tidak menawarkan hal yang ‘spesial’ kepada pembeli. Namun sisi positifnya adalah bisa mempertahankan rasa dan kualitasnya. Contohnya adalah tukang nasi goreng keliling, awalnya masih di harga 10 ribu, kemudian naik di 12 ribu saat pandemi, dan sekarang sudah menyentuh harga 13 ribu dan mungkin akan ada penyesuaian lagi saat mendekati bulan Ramadan. Walaupun rasanya gitu-gitu aja, tapi mereka memilih untuk menaikkan harga demi mempertahankan kualitas.

Opsi kedua biasanya dipilih untuk menjaga pelanggan namun disertai dengan penyesuaian dari bahan baku. Misalnya penjual ayam goreng yang awalnya menggunakan potongan 10 kini berjualan dengan menggunakan potongan 12 sehingga menjadi lebih kecil. Dari segi harga akan tetap sama. Eh kenapa jadi materi kelas marketing ya.

Sebenarnya tulisan ini berangkat dari kekecewaan gue pada penjual tipe ketiga, yakni yang menaikkan harga tapi kualitasnya menurun. Pasti pernah ya ketemu dengan tipe seperti ini.

Hal seperti ini sudah marak terjadi, setelah meninggalkan kota Jakarta selama beberapa tahun dan diikuti dengan munculnya pandemi, maka gue penasaran untuk mencoba kembali makanan yang sebelumnya masuk dalam kategori enak (menurut gue dan keluarga). Sesuai dengan kalimat pembuka di atas, bahwa nostalgia pada makanan menjadi hal yang mudah dan murah untuk dilakukan.

Pelaku pertama adalah warung sop kaki kambing di daerah [censored], dulu tempat ini jadi langganan karena salah satu pembedanya adalah menggunakan kuah susu, bukan santan, yang membuat rasanya lebih enak dan gurih. Tempat ini juga udah jadi langganan karena lokasinya dekat dengan kantor nyokap.

Setelah beberapa tahun vakum, akhirnya gue mencoba kembali untuk ke sini. Karena sejujurnya selama di Semarang, gue sama sekali nggak menemukan warung yang jual sop kaki kambing khas Jakarta. Kalau Soto Betawi masih ada, tapi kan beda ya. Dari segi warungnya masih sama seperti beberapa tahun lalu, cuma sepengetahuan gue, sistem penjualan warung seperti ini adalah rolling, yakni pegawainya akan diganti setiap beberapa waktu sehingga rasanya juga akan berpengaruh. Beda tangan beda rasa.

Dan ya benar saja, rasanya jauuuh berbeda dari saat terakhir kali ke sini. Bukan nggak enak, tapi ya beda aja. Karena yang dicari kan experience-nya. Meskipun harganya sudah naik jauh dan potongan kambingnya juga mengecil, tapi dari segi rasa tidak bisa tertolong lagi. Jadi ya sudah, namanya makanan ya dimakan saja. Mungkin memang sudah berubah. Sesi nostalgia malam itu pun gagal.

Kemudian yang kedua ada warung makan Bebek Madura yang ada di daerah [redacted], langganan sejak gue SD. Lokasinya berada di dekat toko besi sehingga dapat dipastikan penjualnya adalah orang Madura asli. Dulu warung makan ini masuk kategori top tier soalnya susaaah banget belinya, kalau di atas jam makan siang biasanya udah habis dan baru restock agak sore. Karena dari segi rasa juga enak banget. Pantesan laris.

Sama seperti cerita pertama, dengan tujuan ingin membangkitkan memori mengenai rasanya, maka gue datang lagi ke sini setelah pandemi. Bentuk warungnya masih sama namun potongan bebeknya mengecil, gapapa yang penting sambal hitamnya. Kemudian gue bungkus untuk makan di rumah. Setelah dicoba.. ternyata agak beda ya. Entah karena faktor apa, mungkin harga cabai sedang mahal, maka rasa yang dominan malah lada putih. Jadi rasa sambalnya bukan pedas cabai melainkan pedas lada. Semoga bukan karena inovasi sehingga mengorbankan cita rasa sebelumnya. Setelah itu nggak pernah balik ke sini lagi. Sampai hari ini pun masih dalam misi pencarian Nasi Bebek Madura mana yang paling enak.

Untuk oknum yang ketiga ini adalah warung Soto Kudus di daerah [censored] yang juga langganan gue sekeluarga sejak kecil. Lokasinya ada di pelosok sebuah pasar tradisional dan entah gimana ceritanya nyokap bisa nemu tempat ini. Kondisinya pun jarang ke sini karena biasanya cuma untuk belanja dan langsung pulang.

Sambil nungguin orang belanja, sebagai online shop enjoyer, daripada bengong doang jadi gue coba deh mampir ke sini. Sekalian sarapan walaupun sebelum berangkat juga udah makan hahaha. Untuk warungnya masih sama seperti dulu, dari segi harga juga tidak ada yang mencurigakan. Menunya pun masih sama.

Seporsi Soto Kudus tanpa bihun pun melesat ke meja gue dengan ditemani es teh manis. Yang pertama kali wajib dicoba adalah rasa aslinya, hmm.. entah karena faktor apa tapi lagi-lagi gue merasa bahwa rasanya berubah. Karena dari segi harga serupa dengan soto lainnya, jadi gue nggak banyak protes. Yaudahlah ditambah sambal, kecap, dan jeruk nipis buat memperkaya rasa. Setelah itu gue memutuskan membungkus dua porsi menu yang sama untuk dimakan di rumah.

Sebenarnya di sini letak keanehannya, karena untuk soto yang dibungkus, rasanya malah lebih ‘berbeda’, mungkin penjelasan secara ilmiahnya adalah makanan yang sudah tidak dalam kondisi panas atau dihangatkan kembali akan memengaruhi rasanya. Itu sebabnya kalau makanan berkuah paling enak untuk makan di tempat langsung. Hindari untuk percaya faktor klenik ya adik-adik!

Masih ada beberapa kisah serupa, tapi nanti malah jadi banyak banget. Intinya adalah, kalau menurut gue, konsistensi rasa dari sebuah usaha kuliner itu penting banget. Karena beberapa pengunjung mencari hal tersebut saat datang kembali. Rasa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Tinggal bagaimana restoran dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada. Beberapa pembeli juga tidak masalah apabila harus merogoh kantong lebih dalam apabila ada penyesuaian harga, dengan catatan rasanya masih sama seperti dulu.

Untuk tempat makan yang masih mempertahankan ke-otentik-an rasa, kalian takkan terganti!

--

--